Bermain Sambil Belajar

Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Ubaydillah, AN 
Jumat, 01 Agustus 2008

Bermain & Belajar Anak-anak kita bermain dengan berbagai bentuk dan cara. Ada permainan tertentu yang bentuknya berupa aktivitas yang mereka lakukan dengan manusia (people). Mereka bermain dengan teman sejawatnya, dengan kakak-adik-saudaranya, atau juga bermain dengan kita. Ada juga bentuk permainan yang mereka lakukan dengan benda-benda (toys), dari mulai yang paling canggih sampai yang sederhana, seperti sepeda atau bola. Soal caranya, Mildred B. Parten (1932) mengamati ada enam cara bermain yang biasa mereka tempuh. Keenam cara itu bisa kita lihat di bawah ini:

Unoccupied play: anak kita hanya berposisi sebagai pemerhati anak lain yang bermain.

Onlooker play: mereka melihat dan bertanya pada anak lain yang sedang bermain, tetapi tidak mau terlibat.

Solitary play: mereka bermain dengan barang mainannya tanpa ada keterlibatan dengan temanya, terkadang juga ngomong sendiri.

Paralel play: mereka sama-sama bermain dengan temannya (bukan bermain bersama), masing-masing memainkan barang mainan yang dibawa, tanpa ada interaksi dalam permainan

Assosiative play: mereka saling tukar barang mainan, namun tidak ada aturan yang mereka sepakati.

Co-operative play: mereka bermain dangan aturan yang mereka sepakati, misalnya bermain bola, perlombaan dalam naik sepeda, bermain game di komputer, dan biasanya menerapan hukum siapa yang kalah dan siapa yang menang.

Berbagai cara dalam bermain itu mereka lakukan sesuai dengan perkembangan usia dan jenis kelamin. Anak perempuan, katanya, lebih suka bermain secara paralel, sementara anak laki-laki bermain secara associative dan cooperative. Terlepas apapun cara bermain yang mereka tempuh, sejauh menyenangkan dan tidak membahayakan, bermain itu juga memberikan dampak perkembangan psikologis tertentu.

Dalam keilmuannya, banyak pendapat yang membeberkan hubungan sinergis antara bermain dan belajar, tetapi dalam prakteknya, tradisi kita pada umumnya masih mengkontradiksikan antara bermain dan belajar. Inipun muncul dengan berbagai alasan. Misalnya saja main berlebihan sehingga tidak bisa berkonsentrasi belajar (akademik) pada saat konsentrasi itu dibutuhkan. Atau juga, mereka bermain hanya untuk bermain sehingga proses pembelajaran mental yang mestinya mereka dapatkan dari permainan itu kurang optimal.

Untuk yang terakhir itu, memang tidak bisa hanya mengandalkan pada kapasitas anak-anak. Karena itu, di sinilah perlunya kita memfasilitasi anak-anak agar bisa menyerap berbagai materi pembelajaran mental yang mestinya mereka dapatkan dari permainan yang mereka lakukan. Tentu saja harus mengedepankan asas menyenangkan, tidak tegang, atau tidak terlalu tinggi untuk bisa ditangkap oleh jangkauan berpikir mereka. Akan lebih bagus lagi kalau ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan, kesalehan, dan kehebatan sosok yang mereka kagumi pada saat kondisi jiwa mereka siap menerima (story telling method).

“Jika Anda ingin mengembangkan anak-anak, mulailah dari otaknya.
Mereka tentu saja tidak membaca dengan ginjalnya.”
(DR. Deborah Waber, Harvard University)

Beberapa Manfaat Bermain Untuk anak-anak yang tinggal di kota besar dimana kepentingan bisnis telah menyerobot lahan mereka, memikirkan hal ini menjadi penting. Kenapa? Bayangkan kalau sampai anak kita itu sebagian besar waktunya tergunakan untuk duduk di kelas, di kursus, duduk menunggu macet di kendaraan, dan nongkrong di depan televisi, sementara dia tak bebas bermain, apa yang terjadi? Ketidakseimbangan pasti akan terjadi; dan segala yang tidak seimbang biasanya tidak baik.

Dari sisi keilmuannya, Jean Marzollo dan Janice Lloyd, penulis buku Learning Through Play, seperti banyak dikutip oleh Dr. Jeannette (1999), mengganti kesimpulannya tentang hubungan antara bermain dan belajar. “Bermain dan belajar itu ternyata bukanlah dua hal yang saling berlawanan”, katanya. Bermain adalah cara untuk mengembangkan aktivitas motorik. Pembelajaran motorik secara fisik akan membentuk dasar-dasar untuk segala proses belajar, termasuk membaca, menulis, aritmatika, dan musik. Intinya, tanpa pembelajaran motorik, menurut mereka, perkembangan otaknya akan terhambat. Tony Buzan, karenanya, menyarankan begini: “Pastikan anak-anak Anda mendapatkan latihan sebanyak yang mereka inginkan, yang mengandung sebanyak mungkin aktivitas fisik.”

Para pakar yang banyak mengkaji perkembangan anak (James W. Vander Zander, Human Development: 1989) mengungkap bahwa di dalam permainan itu si anak menemukan stimulasi kognitif atau berbagai rangsangan untuk mengembangkan kapasitas pikirannya yang membuat mereka terdorong untuk belajar, misalnya belajar tentang bentuk, ukuran, pasangan benda, gambaran atau konsepsi, dan seterusnya.

Bermain juga akan melatih anak menjadi decision maker. Di rumah atau di sekolah, mereka diposisikan sebagai pihak yang diatur dengan serangkaian aturan dan batasan. Di dalam bermain inilah mereka menjadi bebas, mandiri, dan harus menghitung resiko dari keputusan atau pilihan yang mereka ambil. Dengan keputusan itu, mereka akan merasakan kepahitan atau sebaliknya.

Selain untuk fisik dan logika, anak-anak juga akan belajar mengembangkan kapasitas sosial melalui bermain. Mereka belajar “ilmu hidup” yang mungkin tidak ia dapatkan di sekolah (ilmu akademik) nantinya. Mereka berinteraksi, berkonflik, saling mempertahankan kepentingan, mengetahui prilaku yang pantas dan yang tidak pantas, bisa membedakan keputusan yang berdampak positif dan negatif, mempertahankan argumen, ber-empati, merasakan kekecewaan, dan seterusnya. Menurut study (BBC online, parenting psychology, teenage issues), anak-anak yang punya kesempatan untuk mengembangkan kapasitas sosialnya secara optimal, nanti besarnya akan menjadi orang yang memiliki jurus yang relatif lebih banyak dalam mengatasi kegagalan atau juga dalam merealisasikan keinginannya.

Mengubah PengalamanApa saja yang penting untuk dilakukan untuk mengubah pengalaman bermain menjadi pengalaman belajar juga (pembelajaran mental melalui pembelajaran fisik)? Kalau mengacu ke beberapa temuan di bidang pembelajaran (human learning), hal-hal yang sangat penting untuk kita lakukan itu, antara lain adalah:

Pertama, mari menjadikan bermain sebagai pintu untuk menanamkan konsep diri positif, kuat, dan mendukung keberhasilannya nanti. Contohnya adalah kepercayaan diri (pede) dalam menguasi keahlian. Rasa-rasanya tidak mungkin kita menjelaskan hal ini melalui ucapan. Akan langsung dipahami kalau dijelaskan melalui permainan.

Misalnya kita membelikan sepeda baru. Untuk anak yang tidak / belum pede, dia akan bilang saya tidak bisa, sulit, atau bahasa-bahasa yang nadanya menunjukkan adanya rasa kepercayaan diri yang rendah. Kalau kita terus mendorongnya berlatih sampai bisa, lalu kita jelaskan bahwa semua itu bisa dikuasi dengan latihan, ini akan lebih mudah ditangkap. Si anak telah mendapatkan bukti dari pengalaman belajarnya. Bukti inilah yang mahal harganya. Semakin banyak bukti keberhasilan yang mereka raih dari proses belajar, maka kepercayaan-dirinya akan semakin menguat.

Contoh di atas bisa kita terapkan ke beberapa hal yang menurut kita penting sesuai perkembangannya. Katakanlah berbicara di depan orang lain dalam jumlah banyak. Anak-anak yang tidak mendapatkan kesempatan berlatih untuk tampil di depan umum, mungkin akan terbawa sampai besar. Supaya ini tidak terjadi, kita bisa mulai menanamkan kepercayaan diri dari mulai sekarang melalui aktivitas bermain atau fun. Jika dia sudah tahu bukti dari proses belajarnya bahwa berbicara di depan umum / orang banyak itu tidaklah semenakutkan seperti yang dia bayangkan, maka kepercayaan dirinya akan tumbuh.

Kedua, mari menjadikan bermain sebagai pintu untuk mengasah ketrampilan hidup (life skill), dari mulai yang kecil-kecil sampai ke yang paling prinsip. Ketrampilan hidup di sini mencakup, antara lain: bagaimana dia bergaul dengan bagus, bagaimana dia menyelesaikan tugas (apakah tugas itu dijalankan setengah-setengah atau sepenuh hati, sampai selesai atau setengah selesai, dan lain-lain), manajemen waktu (apakah dia bermain sampai lupa segalanya ataukah sebaliknya).

Kalau melihat bagaimana anak bermain, nampaknya ada banyak pintu yang bisa kita masuki untuk mengasah ketrampilan hidupnya. Yang paling sering terjadi adalah bagaimana menyelesaikan konflik atau memahami prilaku orang lain. Semua anak di dunia ini pasti pernah berkonflik dengan temannya. Yang berbeda adalah bagaimana orangtua mengajarkan cara-cara menghadapi konflik.

Ada orangtua yang mengajarkan cara-cara yang bisa melatih ketrampilan hidupnya. Misalnya mengajari si anak untuk meminta penjelasan kepada temannya, meminta maaf apabila salah, bernegoisasi, membuat kesepakatan baru yang win-win, mengucapkan kata-kata yang baik, dan lain-lain. Tapi ada juga yang mengajarkan cara-cara yang kurang mendukung perkembangan ketrampilan hidupnya. Misalnya dengan cara menghindarkan anak (eskapisme), atau membela supaya menang atas temannya.

Dua cara yang terakhir itu memang lebih mudah dilakukan orang dewasa, tidak usah mikir dan tidak perlu susah-susah. Cuma, jika dua cara itu terus kita lakukan atau lebih sering kita pakai, ini akan membuat si anak kehilangan pengalaman belajar bagaimana menghadapi konflik dengan bagus, win-win atau menang tanpa ngasorake. Padahal, pengalaman inilah yang penting untuk kehidupan dia nanti. Anak yang sering “dilindungi” atau “dibela” yang tidak pada tempatnya, mungkin akan lebih mudah menjadi anak yang arogan, bergantung, atau mudah menjadi korban orang lain nantinya (lemah).

Ketiga, mari menjadikan bermain sebagai pintu untuk menemukan cara belajar yang pas bagi si anak. Sebelum pakar modern berbicara tentang kecerdasan dan bakat, Aristotle rupanya sudah meyakini kalau setiap anak itu memiliki cara belajar yang unik dan ini menjadi alat untuk mengungkap bakat, kelebihan alamiah, dan trait. “Each child possessed specific talents and skills“, katanya.

Nah, meski mereka pada dasarnya memiliki bakat dan keunggulan bawaan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana itu semua dieksplorasi, ditunjukkan, dan diasah. Bermain bisa kita gunakan sebagai langkah awal untuk meyakinkan anak akan kelebihannya, misalnya di kepemimpinan, di seni dan olahraga, di pengetahuan umum, di kreativitas, di kecepatan berlogika, di keterampilan teknik, dan lain-lain.

Seorang ayah yang berprofesi sebagai sopir bajaj, di Jakarta Barat, mampu mengantarkan anaknya menjadi juara perlombaan catur tingkat dunia. Kalau kita lihat prosesnya, ini diawali dari hal yang sangat sederhana. Si ayah memperhatikan kegemaran anaknya di catur dan si ayah terus menerus menantangnya bermain catur. Karena si anak menang terus, si ayah mencarikan lawannya, dari mulai tingkat RT, desa, kecamatan, sampai ke nasional dan internasional.

Terakhir, mari menjadikan bermain sebagai wadah untuk meningkatkan kemampuan akademiknya, entah itu yang spesifik atau yang umum. Intinya, jangan sampai kita kehilangan moment secara total untuk memasukkan beberapa materi penting yang akan ia gunakan nanti melalui aktivitas bermain padahal kita mampu melakukannya hari ini. Kalau tidak bisa seluruhnya, ya jangan sampai kita tinggalkan seluruhnya.

Disadur dari : http://www.e-psikologi.com/artikel/anak/bermain-sambil-belajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *